Negeriku, Negerimu, Negeri Kita..
Setiap orang berhak atas kehidupan layak. Pengakuan dan perhatian sekitar seringkali jadi hal paling sensitif. Siapa pula yang sanggup jika terus menerus dicibir di negeri sendiri? Siapa pula yang hatinya tak nyeri bila saudara sebangsanya saja tak pernah mau tau tentang keadaannya hari ini?. Ketika masih banyak saudara kita, penyandang disabilitas kesulitan memperoleh pekerjaan, sebagian kita yang katanya sebangsa malah terlihat duduk santai saja menganggap hal itu tak perlu diprioritaskan. Padahal sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, katanya.
Sementara diluar sana, banyak orang berkampanye tentang kesejahteraan dan keadilan. Janji dikoar-koarkan, sampai hari ini kesemuanya hanya berhenti dimulut. Tertelan, dan semua kenyang hanya dengan harapan-harapan semu.
Kalau kita mau menilik, Indonesia telah memiliki UU No 4/1997 tentang penyandang disabilitas dan peraturan pelaksanaannya dalam PP No43/1998 tentang peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang disabilitas. Amanat dari UU No 4/1997 adalah menyediakan kuota untuk penyandang disabilitas 1% dari jumlah tenaga kerja di tiap perusahaan. Jadi paling tidak, dari 100 pekerja, ada 1 pekerja penyandang disabilitas. Yang demikian ini hanya berhenti di tulisan. Entah karena pejabat disana kesemuanya sempurna hingga lupa keberadaan pasal-pasal diatas, atau memang yang dianggap ‘tak sempurna’ tak boleh jadi pejabat?. Hingga sendi-sendi keadilan seperti putus oleh pisau diskriminasi.
Pemerintah dan swasta memang telah menyediakan beberapa lowongan pekerjaan bagi penyandang disabilitas namun jumlahnya masih jauh dari mencukupi. Belum lagi kendala-kendala tiap perusahaan untuk menerima karyawan difabel. Mungkin salah satu kendala perusahaan-perusahaan belum mau menerima dengan ‘legowo’ para penyandang disabilitas adalah karena mereka yang disabilitas diragukan keterampilannya. Ini menjadi PR baru lagi untuk pemerintah, pengajar, orang tua dan orang-orang sekitar agar memberi ruang untuk pendidikan vokasional anak di sekolah khusus sehingga kelak bermanfaat bagi perkembangan karirnya.
Kendala lain, adalah aksesibilitas di perusahaan. Tidak semua perusahaan punya toilet khusus difabel, misalnya. Mungkin bagi mereka, untuk apa membangun toilet mahal-mahal hanya demi 1 orang difabel?. Toh selama ini belum ada ketentuan yang mewajibkan perusahaan untuk menyediakan fasilitas yang memudahkan para penyandang disabilitas untuk melakukan mobilitas. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 mengatakan, hanya di tempat-tempat umum seperti Rumah sakit, terminal, atau bandara yang wajib menyediakan aksesibilitas. Tentu anda semua belum pernah mendengar ada perusahaan yang ditutup hanya karena tak menyediakan toilet khusus difabel. Peraturan seperti ini hanya bisa berjalan jika diiringi dengan pengawasan yang konsisten.
Belum lagi, kendala personal. Jika kemudian ada satu saja penyandang disabilitas dalam suatu komunitas, tak menutup kemungkinan datang celaan-celaan dari rekan kerjanya. Hal ini paling penting diantisipasi. Bagaimana kita bisa mendobrak tembok diskriminasi diantara kita. Bagaimana kita bisa belajar tentang kesamaan keadilan.
Sungguh sulit dimengerti. Mendekati peringatan Hari Internasional Penyandang Cacat ke 22 tanggal 3 Desember ini, seperti belum terlihat langkah konkret yang berupaya mensejahterakan para difable. Kalaupun ada, langkah yang dimaksud hanya langkah-langkah tanggung yang tak kunjung diselesaikan. Langkah yang merujuk pada keadilan hanya terlihat seperti formalitas belaka.
Negeri ini sudah merdeka, namun belum semua rakyatnya merdeka. Masih ada yang bingung mengais rejeki dimana hanya karena keadaannya yang dianggap tak sempurna. Lalu, apa gunanya ada pelajaran kewarganegaraan bila yang mempelajarinya tak paham arti tenggang rasa? Apa gunanya pula belajar agama jika yang belajar tak mengerti sikap menghargai sesama makhluk Tuhan?. Mungkin kita mulai lupa perlunya tenggang rasa, rasa saling menghargai, menghormati, dan menjunjung tinggi keadilan bagi sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar