Kamis, 16 September 2010
Cerpen : BERARTI.... ISRAEL ITU TERORIS MI?
Lantas, dimana awalnya kau sembunyikan nuranimu ??. di kantong celanamu yang tempo hari itukah ??, yang sudah jelas-jelas ada bolong besar di ujungnya ??.. hm, pantas.. pasti tanpa sengaja nuranimu jatuh, entah dimana.. dan musnah !
Aku tersenyum simpul membaca bagian awal salah satu artikel dimajalah islami langgananku. Pernyataan sindiran sang penulis menarik perhatianku untuk membaca kelanjutan isinya. Kususuri paragraph demi paragraph. Sebuah artikel yang bercerita tentang kekejaman. Miris.
“ummi, Nayla mau pipis..”, suara si kecil Nayla membuyarkan konsentrasi membacaku. Aku langsung meletakkan majalahku.
“ayuk sayang.. “, ajakku.
Nayla anak terkecilku. Buah hatiku yang paling cantik, karna kedua kakaknya adalah lelaki. Ia masih berusia 4 tahun. Tapi sudah pintar menghafal surat-surat pendek. Aku, dan suamiku terbiasa mendidik anak-anak untuk mengenal isi Al-Qur’an semenjak kecil. Sedikit demi sedikit menuntun mereka belajar mencintai Allah, dan Rasul-Nya . Agar kelak, saat mereka dewasa, mereka paham siapa mereka, dan apa yang harus mereka lakukan. Agar hidup, tak menipu mereka.
Tak hanya itu. Selain hafal surat-surat pendek, Nayla kecilku juga telah menguasai sebagian besar do’a-do’a pendek untuk kesehariannya. Seperti, doa mau tidur, makan, bercermin, dan lain sebagainya. Seperti kali ini,
“ALLAHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MINAL KHUBUTSI WAL KHABAAITS”, mulut mungilnya menyuarakan doa masuk kamar mandi. Pintar.
Selesai memakaikan celana Nayla, aku menggendongnya ke ruang tengah. Membiarkan ia kembali bermain dengan dua kakaknya, Rasyid dan Husain. Dan aku kembali ke sofa ruang tengah, tempat dimana ku letakkan majalah yang tadi kubaca. Dan kembali menekuri kalimat-demi kalimat.
Aku bergidik saat membaca tentang korban-korban di Palestina. Banyak anak-anak kecil tak berdosa ikut terbunuh. Aku tak membayangkan, jika yang terbunuh adalah anakku. Bersedihkah aku??, atau harusnya aku bahagia karna anakku mati dalam keadaan syahid?, entahlah…
Kulirik sejenak ketiga anakku. Hm.. aku takkan sampai tega melihat mereka kehilangan senyumnya.
Rasyid melirik ke arahku. Aku tersenyum. Kemudian, ku lanjutkan acara membacaku.
Ibu-ibu hamil, tersiksa. Bersusah payah mempertahankan titipan Allah dalam kandungan mereka di tengah ricuhnya suasana. Bahkan, banyak diantara mereka yang tertahan tentara Israel, tak diizinkan beranjak ke rumah sakit, kemudian melahirkan bayinya di tenda-tenda darurat, di bawah suara desing tembakan-tembakan yang bersliweran tanpa henti. Allah… begitu mulianya umi-umi itu. Aku tak ada apa-apanya dibandingkan mereka.
“Assalamu’alaikum”, terdengar suara suamiku .
“wa’alaikummussalam..”, jawab kami berempat serempak.
Suamiku baru pulang dari acara tarbiyahnya. Memang setiap minggu pagi, lelaki luar biasa ini mengisi acara tarbiyah. Terkadang, ia mengajak kami sekeluarga ikut serta. Tentu jika Nayla, Rasyid, dan Husain sedang tak rewel untuk diajak pergi. Dan kebetulan pagi tadi, ketiganya lebih memilih bermain di rumah, karna kondisi di luar yang dingin akibat hujan semalam tadi. Kami tak pernah memaksa mereka mengikuti acara tarbiyah, dan sejenisnya. Terserah mereka sajalah. Toh mereka masih terlalu kecil untuk mengerti bahasan-bahasan dalam acara tersebut. Hanya sesekali saja kami mengajaknya. Untuk mendekatkan mereka dengan orang-orang shalih.
“abi… bahasa inggrisnya keajaiban apa?”, Tanya Rasyid tiba-tiba. Mataku menjelajah ke arahnya. Ooouuhh… ternyata Rasyid tengah asyik mengisi TTS di majalahnya.
“lho..lho..lhoo.. abi baru pulang, kok udah ditanyain?, kenapa nggak Tanya umi aja?”, jawab suamiku sambil tersenyum.
“akh..umi daritadi lagi serius sama majalahnya bi.. tadi aja pas Rasyid lirik, umi Cuma senyum, terus lanjutin baca” Rasyid mengeluh.
Aku mengernyitkan dahi. Duh, malu. merasa bersalah.
“umi minta ma’af deh. Umi kira, Rasyid Cuma nglirik doank. Nggak lagsung Tanya sih..”, jawabku.
“terus jawabannya apa donk mi??”, katanya
“miracle”, jawabku singkat.
“tulisannya?”, Tanya Rasyid lagi.
“bentar”, Husain menyela. Lantas ia berlari kekamarnya.
Beberapa saat kemudian Husain kembali dengan buku tulisnya yang bersampul coklat. Ada tulisan “english book”, di sampulnya. Itu buku lesnya.
“tulisannya, M, I, R, A, C, L, E”, katanya.
“Pinter….”, sahut suamiku .
“Plok..plok..plok…” kutepukkan tangan, memberi pujian untuk anak keduaku itu. Ia tersenyum bangga. Akh… tak kubayangkan senyumnya hilang ditengah deru senapan, helicopter, ataupun bom di palestina.
“abi mau minum the anget atau kopi?, tanyaku pada suamiku.
“the aja mi..”, jawabnya.
Aku beranjak dari dudukku. Membuatkan the hangat untuk lelaki luar biasaku. Sambil menunggu air mendidih, pikiranku terus tertuju pada saudara-saudara semuslim di Palestin. Begitu menyedihkannya kondisi mereka.
Tarbiyah ??, mungkin mereka sudah sulit menemukan waktu-waktu senggang untuk menghadirinya. Dakwah mereka langsung diaplikasikan dalam bentuk nyata, berjihad. sementara kami disini, baru bisa mempelajari teori. Belum praktek.
Sholat?? , mungkin inilah hiburan mereka, ditengah gempuran para musuh Allah. Tak seperti kami disini yang terkadang masih enggan melaksanakan sholat. Jika melaksanakanpun, terkadang pikiran masih disibukkan oleh urusan-urusan dunia.
Air sudah mendidih. Segera kubuatkan the hangat untuk suamiku. Kuaduk perlahan, dan kubawa ke ruang tengah.
Rasyid tengah membaca majalahku, saat aku tiba. Mimiknya serius.
Aku meletakkan secangkir the di hadapan suamiku. Kemudian, duduk disampingnya.
“mi…” panggil Rasyid.
“iya nak…”, jawabku.
“kenapa sih mi, Israel nembakin orang-orang Palestina ??”, tanyanya penasaran
Si bandelku yang berusia 12 tahun itu bertanya dengan polosnya. Ia memang tergolong anak yang kritis.
“hm.. Katanya sih karna Israel mau cari teroris…”, jawabku simple. Sulit menjelaskan panjang lebar tentang itu pada anak seusia Rasyid.
“Emangnya bener terorisnya ada di Palestina ?”, tanyanya lagi.
Abinya tersenyum. Lalu katanya, “yaa… kata Israel sih gitu mas”.
“Israel kata siapa bi?” ..
Kami bingung. Hei !, bagaimana cara menjelaskannya??, aku tak cukup pandai untuk menjelaskannya pada Rasyid bi…, bathinku. Aku melirik suamiku. Ia masih terlihat berwibawa. Lalu dengan sedikit bercanda, ia jawab, “yye… mana abi tau. Orang Israel nggak beritau abi, kata siapa”.
Aku tersenyum. Duh…. Harusnya jangan jawab gitu mas… yang lebih bijak lagi kek. Bathinku.
Husain mendekat. Ia duduk dipangkuan abinya. Ikut menyimak. Lantas iapun ikut berbicara,
“kenapa di sekolah Husain dimintain sumbangan buat Palestine, bukan buat Israel mi ?”, tanyanya.
Akh… aku ingin tertawa mendengarnya. Tapi sebisa mungkin kutahan. Ini benar-benar lugu.
“ya untuk bantu orang-orang Palestine dong sayang. Kasian kan,diserang Israel terus.”
“emangnya knapa coba,, ?, kan buat cari teroris ?” Rasyid memburu lagi.
"Ya kan baru katanya. Berarti belum pasti.” Jawab abi mereka.
“belum pasti, tapi kok udah nyerang-nyerang?”
Aku hanya mengangkat bahu.
“orang-orang Palestina, ditembakin ya mi?”, Tanya Hsan.
“iya..”
“pada meninggal mi?”
“iya..”
“Anak-anak juga?”
“iya.. semuanya. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, nenek-nenek. Yah… pokoknya semua.”
“teroris tuh sebenernya kayak apa bi?, jahat ya?”, Tanya Rasyid.
“iya..”
“Kalau matiin orang, jahat nggak mi?”
“Membunuh orang tanpa alasan, tanpa bukti, tanpa saksi, ya tentu jahat.”
“sama dengan teroris mi?”
“iya, persis”
Husain diam sejenak. Lalu ia bertanya dengan cerdasnya,
“berartii… Israel itu teroris mi??”
Aku tersenyum lagi. Kali ini aku tak tau harus berkata apa bi. Bagianmu, bathinku.
Mataku menjelajah mencari sosok Nayla. Oh.. ternyata si cantikku itu tengah tertidur di atas karpet. Segera ku beranjak dari dudukku, dan menggendong Nayla ke kamar.
Selebihnya, aku tak lagi mendengar pembicaraan dua mujahid kecilku bersama abinya.
Hanya terdengar sayup-sayup perbincangan mereka,
“ Walaupun aq harus berperang??.”
“ Apa aq kuat bi…???”
“ Insya Alloh .. Coba raba dadamu dan rasakan gejolak api jihadmu…,yakinlah bahwa imanmu akan menghancurkan kafir Durjana…”
“ Syukron Abi, doakan aku y..aku ingin menjadi umat kesayangan Alloh bi…”
“ Doa Umi dan Abi akan slalu mengiringi langkah kalian “
“juga Nayla?”
“ya… juga Nayla.”
“tapi Nayla perempuan.. apa dia ikut berperang?”
“jihad, tak harus berperang,nak… “
Walaupun darah keluar dari setiap pori kalian, dan nafas terakhir yang tersisa dari hidup kalian, kalian harus tetap menjadi JUNDULLOH kebanggaan ALLOH, ROSUL, Umi, Abi, dan orang2 yang beriman, nak…, bathinku.
Nayla terbangun dari tidurnya. Lalu katanya, “umi… Nayla ketiduran ya?, Nayla belum baca doa sebelum tidur, tadi…”
“akh..anakkku… kalian selalu saja membuat umi dan abi bangga”
NB :
(Beberapa percakapan ada yang disadur dari surat dan majalah(umi))
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar