‘Huuauuaaa…. Mamah, huhuu…”. Terdengar suara tangis Arini, setelah sebelumnya telingaku menangkap gelegar gagah petir yang tengah asik dalam pentasnya. Itulah yang mengajak Arini menangis. Arini yang tengah tertidur, terbangun karenanya. Langkah kaki mamah Arini terdengar tergopoh-gopoh menyongsong anaknya. Ditenangkannya tangis anak semata wayangnya itu. Sekitar sepuluh menit sudah Arini berada dalam buai kalimat-kalimat menenangkan mamahnya. Sepertinya usaha itu cukup berhasil. Hanya isak sesenggukan Arini yang tersisa. Sentuhan kasih sayang seorang ibu memanglah luar biasa. Walau hanya meluangkan beberapa menit dalam sibuknya, ia mampu menyihir semua. Dibuatnya anaknya bisa tersenyum tatkala awalnya ia menangis. Dibuatnya anaknya bisa tenang, tatkala awalnya ia merasa gundah. Dibuatnya anaknya merasa hebat, tatkala awalnya ia merasa dirinya tak berguna.
Arini, seorang bocah berusia 4 tahun. Matanya bulat berbinar, Bulu matanya lentik, Bibirnya mungil , pipinya yang berlesung menambahnya semakin terlihat menggemaskan. Aku suka melihat tingkahnya saat ia bercerita, menyanyi, atau sekedar bergurau denganku. Polos, tak dibuat-buat. Lincah, tanpa basa-basi.
Arini berlari ke arahku. Masih berbekal lincahnya, masih bertemankan polosnya. Isaknya sudah tak bersisa. Hanya ada senyumnya yang mengembang.
“Mbak Vani.. main kedepan yuk.. Ayyin mau liat pelangi”. Terdengar cedhal yang melekat pada suara kekanak-kanakannya.
Aku mengangguk mengiyakan. Segera kuraih tangan mungil Arini. Kugandeng dengan tangan kananku. Sedang tangan kiriku menggenggam erat buku kecil dan sebuah pena.
Aku lupa, kapan persisnya aku mulai akrab dengan buku dan pena. Kemanapun aku pergi, keduanya senantiasa menyertaiku. Bukuku tak hanya berisi tulisan-tulisanku saja. Namun, coretan-coretan atau gambar-gambar sederhana Arini, terkadang ikut andil disela-sela tulisanku. Aku tak pernah marah, atau sekedar menyumbangkan wajah cemberutku untuknya, saat tangan mungilnya mulai asik mencorat-coret buku kesayanganku. Toh mungkin itu bisa jadi media pembelajarannya. Aku justru tersenyum senang saat ia bertanya, “mbak, yang sebelah sini dah penuh. Ayyin boleh gambar disebaliknya?”, yah, tentu boleh sayang.
Hujan masih menyisakan rintiknya. Aku dan Arini sudah siap dibangku teras. Menanti hadirnya lengkung warna-warni nan menawan. Semoga saja ada. Aku tak sanggup melihat kekecewaan bertengger di wajah polos itu. Aku tak sanggup Ya Allah.
Tapi ternyata, setelah hampir satu jam penuh menunggu, pelangi yang dinanti tak kunjung menyembul. Kutangkap seulas kecewa di raut Arini. Melihatnya, akupun ikut kecewa. Matanya tak lagi berbinar. Senyumnya tak lagi mengembang. Lengkung menawan yang ditunggunya tak hadir kali ini.
Seperti juga aku tak tau persis kapan diriku mulai akrab dengan buku dan penaku, akupun tak tau persis kapan Arini mulai menyukai pelangi . Bukan aku tak perhatian. Tapi aku lupa. Hanya lupa saja. Bukankah seorang manusia tak pernah luput dari lupanya ?.
Yang kutau, pelangi itu memang indah. Warna-warni. Arini suka warna-warninya. Apalagi semenjak ia mengenal beberapa jenis warna. Tentu, bukan aku yang mengenalkannya. Arini belum cukup paham dengan bahasaku. Mamahnyalah yang dengan sabar megenalkannya pada beberapa warna. Hm.. Aku senang melihatnya belajar. Arini pintar. Cepat sekali dikuasainya nama warna-warna. Aku ingat, pertama kali Arini belajar mengenal warna merah. Apapun di rumah yang berwarna merah, seketika itu menjadi pusat perhatiannya. Esoknya, ia belajar mengenal warna kuning, hijau, dan seterusnya. Sehari satu warna. Dan mamahnya sengaja mengajarinya berdasarkan urutan warna pelangi. Karna mamah Arini tau persis, anaknya amat senang melihat pelangi.
Terkadang aku iri pada Arini. Walau papahya sudah tak ada, Ia punya mamah yang begitu baik. Sedang aku?? . aku tak punya keduanya. Kata mamah Arini, ibu bapakku menitipkanku pada keluarga mereka. Demi masa depanku, katanya. Dan setelah menitipkanku, ibu bapakku pergi tanpa meninggalkan alamat. Hm… Sesimple itukah ??. sebenarnya tidak. Ceritanya panjang. Mamah Arini tlah menceritakan semuanya padaku. Tapi aku tak ingin menceritakannya. Toh itu justru akan membuatku sedih. Lebih baik tak kuceritakan.
Arini berlari ke dalam rumah . Ditemuinya mamahnya. Dan mulai mengadu,
“mah.. pelanginya nggak ada”, dan tangisnya kembali nyaring .
------------------------------------------------------------------------------------
Arini 15 tahun yang lalu, memanglah seorang yang cengeng. Dalam sehari bisa dua tiga kali ia menangis. Tak ada yang salah sih. Hampir semua anak kecil seperti itu,bukan ?. Akupun mungkin dulu demikian. Hanya saja, aku lupa masa kecilku. Bukan lupa, tepatnya. Tapi, aku tak peduli.
Kau tau kawan, Arini yang kulihat pagi ini sudah berubah. Kuamati sosok dewasanya yang tengah asik menikmati warna pelangi itu dari belakang. Anggun. Dikenakannya baju gamis berwarna ungu, disertai jilbab panjangnya. Menawan !. Dibandingkan denganku, ia tampak lebih dewasa . Padahal usia kita terpaut 6 tahun. Aku kini berusia 25 tahun, dan Arini 19 tahun. Tapi auratku, masih terbuka. Rambutku masih tergerai, melambai-lambai tersapu angin, saat aku melangkahkan kaki keluar rumah. Lenganku bajuku masih pendek . Kakiku masih belum berbalut kaos kaki layaknya Arini kini. Aku ingin. Aku ingin seperti Arini !, teriakku dalam diam.
Kutinggalkan Arini sejenak. Karena tiba-tiba air mataku mendesak ingin keluar. Entah knapa. Karna aku iri dengan Arini?, atau karna aku haru melihat perubahan pada adik kecilku itu?. Entahlah..
Aku terisak sendiri di kamarku. Kamar ukuran 4 x 5. Tak besar memang. Tapi kamar inilah tempat aku meluapkan perasaan. Seperti sore ini. Kubuka buku kecilku. Kutuliskan beberapa kalimat disana. Luapan perasaan sore ini. Hm.. Bukuku memang sudah ganti beberapa kali. Namun yang lama masih tetap kutata rapi di rak minimalisku. Sudah ada 14 buku disana. Yang kutulis ini, buku yang ke limabelas. Aku suka menulis. Menulis apa saja. Perasaanku, hal-hal yang menurutku penting, dan tak lupa kosa kata yang terkadang tak dimengerti orang, saat aku berbicara dengan bahasa isyaratku.
------------------------------------------------------------------------------------
Sore. Oh, ternyata aku tertidur. Buku kecilku masih berada tepat disampingku. Kubaca ulang deretan kalimat yang tadi kutulis. Tentang keinginanku. Keinginanku mengenakan jilbab seperti Arini. Aku tersenyum. Hanya tersenyum. Aku ingin, tapi aku tak tau caranya. Aku tak mungkin merengek minta pada mamah Arini untuk dibelikan pakaian muslimah seperti Arini. Karna aku tak mau menyusahkan. Arini saja, dia membeli pakaian-pakaian itu sendiri. Kemarin ia bercerita tentang pekerjaan sambilannya menjadi penulis lepas. Katanya, “setidaknya cukup buat umpul-umpul beli baju muslim sendiri” .
Tiap liburan, Arini slalu membawa cerpen-cerpen barunya yang dimuat di majalah, atau surat kabar. Memperlihatkan padaku, dan menunggu pendapat-pendapatku. Dengan senang hati, aku akan membacanya. Kuakui, ia amat mahir menulis. Aku suka gaya bahasanya, alur ceritanya, dan lebih-lebih… akhir ceritanya. Selalu ada yang berbeda dari gores tangannya. Dan liburan kali ini, ia bawakan yang lebih istimewa. Buku kumpulan cerpennya telah terbit . Ia bawakan jadi oleh-oleh istimewa itu untukku, juga untuk mamahnya. Yang pertama kali membuatku tersenyum adalah, ia tak mencantumkan nama aslinya di cover. Nama pengarang yang tertera di cover kumpulan cerpennya adalah, “QausQuzaa”. Sebuah nama pena yang cantik. Aku tau itu diambil dari bahasa Arab, qausqudzoh artinya pelangi. aku tau itu saat TPA dulu. Ustadzah Hani yang memberitauku, saat aku sedang iseng-iseng memperlihatkan gambar pelangi kecil di bukuku, yang akan kuberikan pada Arini sepulang TPA. Di TPA dulu,Aku tak punya teman. Jadi, jika istirahat tiba, aku hanya mengisinya dengan menggambar atau menulis. Aku tak pandai bergaul. Selaluuu saja ada kata, “minder dan malu”. Banyak kawan-kawan sebayaku yang memperolok kekuranganku. Mereka tak tau sih rasanya di olok-olok. Terlebih lagi, mereka tak tau rasanya dianggap berbeda. Ingin rasanya kusobek-sobek mulut mereka. Tapi aku terlalu lemah. Jangankan untuk menyobek, sekedar membentakpun aku tak bisa. Byasanya kalau kemarahanku sudah dipuncak, aku akan berlari pulang, tanpa izin ustadz/ustadzah. Mengunci diri di kamar, dan mencurahkan semua kekesalanku di buku kecilku. Hanya di buku kecilku. Sebenarnya aku ingin merengek dan bercerita semuanya dengan lancar pada mamah Arini, seperti halnya Arini. Tapi sayang, aku tak bisa.
Ada satu hal lagi yang membuat senyumku bertambah lebar. Di halaman ucapan terimakasih, Arini menyisipkan namaku disitu. Aku tak salah membaca. Itu namaku. Bunyi kalimat pengantarnya begini, “Teruntuk kakakku, Evania Hasna..,yang dianugrahi banyak keistimewaan, trimakasih atas inspirasinya. Trimakasih atas kepercayaannya. Karna Arini, ia tak kan pernah bisa menyusun shaf-shaf kalimatnya tanpa inspirasi dari pelanginya, dan tanpa kepercayaan dari seorang Evania”.. ^_^. Kurasakan desir-desir kebahagiaan di dadaku. Baru pernah aku sebahagia ini. Aku dihargai, dan namaku tertulis di media. Jelas, buku Arini akan dibaca banyak orang. Dan merekapun akan membaca namaku. akh.. aku senang Ya Rabbi.. sulit diungkapkan.
Ada 8 judul cerpen di buku Arini. Aku baru membaca satu cerpen, Judulnya “Iya, Aku Tau Ibu.. tapi Aku Cemburu”. Kisahnya tentang seorang ayah yang amat menyayangi anaknya dan amat dekat dengan anaknya. Tapi suatu saat, tiba-tiba ajal menjemputnya. Ia tak sempat pamit pada anak tercintanya itu. Si anakpun menangis sejadi-jadinya. Ibunya hanya bisa menghibur dengan mengatakan, “kau tau nak,, itu tandanya, Allah amat mencintai ayahmu. Rindu dengan ayahmu. Makanya, Allah panggil ayah untuk kembali.” Dan dengan tak disangka, si anak menjawab, “Iya, Aku Tau Ibu.. tapi Aku Cemburu”.Hm.. sebuah bahasa anak-anak yang menggelikan. Tapi, yang lebih membuatku kagum adalah, bagaimana bisa Arini menceritakan kasih sayang seorang ayah dengan amat detailnya, hingga membuat si anak amat cinta padanya ??, padahal Arini sendiri belum pernah merasakan kasih sayang papahnya secara langsung. Ia hanya bisa melihat foto papahnya. Karna papahnya meninggal saat Arini masih berusia 6 bulan.
-------------------------------------------------------------------------------------
“Sehari aja mah…., suer deh”, Arini masih bersikeras membujuk mamahnya.
“tapi janji lho ya, Cuma sehari. Soalnya mamah banyak kerjaan di rumah dek..” sahut mamahnya
“Iya mamahku sayaaaang. Sama mbak Vani juga yah…” tambah Arini
Lho?? Kok aku diikut-ikutkan?? , keningku berkerut, tanda bertanya.
“Ya mbak yah… please…. Skalian refreshing di jogja”, skarang ia ganti membujukku.
Siang dan malam Arini berusaha membujuk aku dan mamahnya untuk pergi ke jogja. Akhirnya Esoknya, aku, Arini dan mamah Arinipun pergi meninggalkan rumah sementara demi menuruti keinginan Arini. Ia mengajak kami semua ke Jogjakarta, tempat ia belajar katanya. Ia punya kejutan untuk kami. Kira-kira apa ya ? ,bathinku terus saja bertanya. Selalu saja ada yang mengejutkan darinya.
-------------------------------------------------------------------------------------
Kami mengendarai bus patas yang langsung menuju ke jogja. Sungguh, aku baru pernah naik bus. Karna byasanya aku selalu menolak untuk di ajak pergi. Jangankan pergi yang jauh-jauh, pergi ke pasarpun aku tak pernah mau. Aku malu, kawan. Pada keterbatasanku. Tapi kali ini aku tak menolak. Kenapa ? karna aku amat penasaran dengan kejutan Arini. mati-matian ia membujukku dan mamahnya siang dan malam untuk pergi ke jogja . Pasti ada yang begitu istimewa,hingga ia rela mempertahankan keinginannya.
Kau tau kawan? Aku senang sekali. Ternyata kendaraan umum itu menyenangkan. Tak ada yang mengenal kita, yang berarti tak ada yang mengejekku. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Padahal awalnya, alasan aku selalu tak mau diajak pergi adalah, aku tak suka tempat umum. Sekolah, TPA, lapangan kompleks, semuanya adalah ladang anak-anak mengejek dan memperolokku. Tapi tidak, untuk tempat umum kali ini.
------------------------------------------------------------------------------------
Matahari sudah terbit ketika bus kami sampai di sebuah pasar. Kata Arini, namanya pasar Gamping. Kos Arini terletak beberapa meter di belakang pasar. Hm.. suasana pagi yang menyenangkan di kota asing, dan di tengah orang-orang asing.
“Nah, skarang dah mandi semuanya kan???. Yuk, skarang kita lets goooooo!!”, kata Arini bersemangat.
"Lho?? Kita mau kemana dek?” Tanya mamah Arini
“Pergi ke UGM mah. Masa’ mamah jauh-jauh kesini dari tegal, nggak mau liat kampusku?”
“oh….. jadi kejutannya liat kampusmu ya?” mamah Arini mencoba menebak.
“ikh… bukan mamah. Nanti deh tau sendiri” .
Arini mengajak kami semua, kali ini naik kopata pergi ke kampusnya. Hm.. padahal aku masih ngantuk. Perjalanan tadi malam hanya kuhabiskan untuk melihat-lihat suasana jalan. padahal Arini dan mamahnya sudah berkali-kali menghimbauku untuk tidur. Tapi ya sudahlah, aku tak bisa menolak ketika Arini mengajak kami semua pergi.
“Heii cantik… mau kmana ?” tanya mas-mas di sampingku. Aku, Arini, dan mamah Arini duduk di bangku kopata paling belakang. Arini ditengah. Walhasil, aku harus berjejeran dengan mas-mas menyebalkan ini.
“heii, kok diem aja?? Bisu ya? Tanyanya .
Bisu???, hah .. aku benci kata itu. Kutatap mukanya. Ku pelototi matanya. Ada air yang mendesak-desak ingin keluar dari mataku. ia tampak terkejut melihat sikapku.
“mbak, pindah sini aja”, sahut Arini. Sepertinya ia tau apa yang terjadi. Aku menurut. Arini pindah posisi ke tempatku, dan aku ke tempatnya.
Sepanjang jalan, aku hanya menunduk. Menahan butiran air mata yang mendesak ingin bebas.
-------------------------------------------------------------------------------------
Ramai sekali…….. ya, aku senang sekaligus takut. Kau tau kawan, kini aku, Arini dan mamah Arini duduk didepan banyak orang. Kami duduk paling depan ! paling depan, tapi dengan hadap bukan seperti mereka. Kami menghadap kea rah mereka yang banyak itu. Kami jadi pusat perhatian. Arini yang mengajak kami duduk di sini. Katanya, inilah kejutannya. Ini???!!. Akh.. aku bingung.
Dan aku baru tersadar, setelah membaca sepintas tulisan paling atas dari di layar di belakang kami, “Launching buku “Iya, Aku Tau Ibu.. tapi Aku Cemburu”, karangan Arini QaussQuzaa”. Wow !.
Arini banyak bicara tentang bukunya disana. Menjelaskan isinya, menjawab pertanyaan audiens, dan juga berbicara tentang bagaimana awalnya ia memperoleh ide itu.menyenangkan. aku senang berada disitu. mendengarkan semuanya. Kejadian di kopata tadi sudah tak terlalu kuhiraukan. Aku menengok kea rah mamah Ariini. Ada pancar kebahagiaan di sana. Tak henti-hentinya beliau menyunggingkan senyum, dan tepuk tangannya selalu terdengar paling awal, saat ada sesuatu yang layak untuk ditepuk tangani dari seorang Arini. Aku liat, ada Kristal bening yang menggantung di kedua matanya. Aku tau, itu bukan air mata kesedihan atau keputus asaan yang biasa aku perlihatkan. Namun itulah air mata haru. Haru dan bangga akan keberhasilan Arini. Haru dan bahagia, atas kejutan dari anaknya itu.
“dan disini, sengaja saya hadirkan orang-orang yang amat berjasa dalam mengiringi tarian-tarian cerpen saya. Tanpa mereka, saya tak berarti apa-apa. Tanpa mereka juga, tak akan ada kumpulan cerpen “Iya, Aku Tau Ibu.. tapi Aku Cemburu”. Mereka selalu ada kapan saja disaat saya menulis. Walau terkadang hanya bayangannya saja, Karna jarak kami yang berjauhan. Namun itu tak jadi masalah. Karna selalu ada ikatan bathin diantara kami. Merekalah alasan mengapa saya mulai menulis.”
Arini berhenti berbicara . ia beranjak ke kursi mamahnya.
“ini mamah saya. Cantik bukan ? , seperti anaknya. Hehehehee…. Sedikit ia melayangkan canda. Mamah saya ini orang yang hebat. Ia bisa mainkan dua peran sekaligus. Saya tau mamah saya bukanlah papah saya. Tapi, dengan mempesonanya, ia lakukan apa yang biasa dilakukan seorang papah pada anaknya. Memang tak sesmpurna papah-papah lain. Karna memang, sosok “papah” bukan bagiannya. mamah sayalah yang mengajari saya hidup tegar dan mandiri. Mamah saya adalah alasan pertama saya menulis.Jujur, awal saya mengirim cerpen saya ke majalah-majalah adalah semata untuk mencari uang. Demi menunjukkan pada beliau, kalau saya bisa hidup mandiri. Belajar membiayai pengeluaran sehari-hari dengan biaya pribadi. Tapi setelah lama-lama bergelut di dunia tulis menulis ini, saya malah jadi ketagihan. Menulis seakan jadi kebutuhan saya. Ada hal menyenangkan saat bergelut dengan berpuluh-puluh inspirasi, dan menuangkannya dalam sebuah tulisan nyata. Ada kemenarikan dan kenikmatan tersendiri yang tak bisa saya ceritakan” . Arini menghentikan kalimatnya sejenak. “Terlepas dari itu semua, ketika saya punya impian, bait-bait doa saya perlukan tuk mewujudkannya. Dan doa mamah saya, adalah doa yang paling saya harapkan. Doa istimewa, dari orang istimewa." Ada butir bening mengalir dari mata Arini. Ia menghentikan ucapannya. Diberikannya kesempatan pada mamahnya untuk berbicara .
Beberapa menit suasana hening. Hanya terdengar isak dari pengeras suara. Mamah Arini belum bisa mengendalikan keadaan. Tapi kemudian beliau mulai berbicara,
“Arini . Dulu, ia adalah anak yang tak beda dengan anak lain. Suka menangis, mengompol, merengek, dan juga tetap meringkuk di tempat tidurnya, saat saya suruh untuk mandi pagi. Tapi kini, tak ada lagi semua itu. Hari ini ia memang menangis. Tapi tangisnya, bukan tangis kanak-kanak seperti dulu. Pagi ini, ia tak menghadiahkan ompol di pagi mamahnya. Tapi, ia hadiahkan acara membanggakan ini untuk saya. Kemudian, sekarang tak ada rengek manja yang saya dengar. Namun, kalimat-kalimat dewasanyalah yang keluar dari mulut mungilnya. Dan juga, pagi ini ia tak meringkuk seperti pagi masa kecilnya. Justru, ialah yang membangunkan kami saat di perjalanan tadi terdengar adzan shubuh. Dan lagi, ia yang semangat membujuk kami mandi demi menghadiri acara ini. Kau juga istimewa nak.. kau buat akhir yang berbeda . mamah kagum pada jejak-jejak perjuanganmu”
Terdengar tepukan riuh dari gerombolan manusia di depan kami. Arini tersenyum dengan pipinya yang sudah mulai basah. Ia cium kening mamahnya, Dan kini, posisi Arini berganti tepat berada di sampingku. Aku tak tau aku harus bagaimana.
“ini sodara perempuan saya satu-satunya. Namanya Evania. Indah bukan ? ,yaa.. seindah orangnya". Arini melirikku sesaat. Aku tersipu malu. "Ia yang mengajari saya menulis. Ia pintar menulis lho… sudah ada ratusan tulisannya. Ia punya 15 notebook kecil, tapi tebal. Isinya macam-macam. Ada puisi, kegiatan sehari-harinya,ungkapan perasaannya dan… ada juga lho coret-coretan saya waktu kecil.heheee.. waktu masih ingusan. Saya pikir,dari situlah saya belajar menulis. Karna ia selalu membiarkan saya menggores apa saja disitu. mungkin ini yang disebut, “dimulai dari hal yang kecil. Iapun tak kalah istimewa dari mamah saya. Mau tau keistimewaannya ?. barlah ia yang menceritakannya sendiri”. Arini menghentikan ucapannya, dan memberikan microfonnya padaku. Aku menggeleng. Beberapa menit aku tetap tak mau beranjak. Ingin rasanya menangis takut. Arini tersenyum. Ia bisikkan sesuatu di telingaku, “ayo,tunjukin kalo mbak vani juga istimewa. Jangan biarkan ada yang ngremehin mbak. Aku yakin, mbakku lebih hebat dariku”.
Serasa ada semangat yang muncul setelah itu. Akupun berdiri. Aku isyaratkan pada Arini untuk membantu memegangkan microfon, dan mengartikan segala ucapanku. Aku mulai dengan ucapan salam yang tak jelas. Arini mengartikan, “assalamualaikum”. Terlihat ekspresi terkejut para hadirin. Tapi kemudian, sepertinya mereka berusaha menyembunyikan keterkejutan itu. Mungkin berganti dengan perasaan iba.
“auh… amm..t.. ngayy.. inii..” .sahutku dengan diiringi gerakan pengantar. Arini mengartikan, “aku amat sayang Arini”
“hhiinhni… inrr ulii.., ngia ass..” .
“arini pintar menulis, dia cerdas”, terdengar suara Arini yang pelan. Sepertinya ia tengah berusaha menahan isaknya terdengar.
Aku melambaikan tangan, dan bergedek. Arini mengartikan, “bukan”
“auhh ng ayyi iinii.. liss”.
“Bukan aku yang mengajari Arini menulis”
“ppii.. iinii jarhh iyyii”
“tapi Arini belajar sendiri’. Arini mengatakan itu, tapi ia menggeleng pada audiens.
“auuhh nyaa mjaman innii kku ntuukk ullss”
“Aku hanya meminjamkan buku untuk menulis. .”
Terakhir, ku ambil notebookku, dan kutulis sesuatu disitu. Arini membacakannya, “sekali lagi trimakasih QaussQuzaaku.. kaulah yang pertama kali membuatku sebahagia sekarang. Kau buat aku merasa berharga di mata semua orang. Bukan aku yang istimewa. Pun bukan aku yang lebih hebat ataupun indah. Kaulah apa yang semua yang tadi kau sebutkan untuk memujiku.”
Arini membacanya dengan tangis. Akupun mengis haru. Setelah itu, ia maju kedepan. “Maaf sodara-sodara.. saya tak bermaksud menyetelkan telenovela pada anda. tapi benar, kata-kata keduanya membuat saya tak kuat menahan tangis..”
Seorang audiens mengangkat tangan..
Arini mempersilahkannya berbicara..
“luar biasa. Tak hanya isi tulisanmu yang luar biasa Arini. Tapi, latar belakang penulisannyapun luar biasa.”
Terdengar riuh tepuk tangan. Dan Arini mengucapkan terimakasih.
Sungguh sekarang aku amat bersyukur telah dilahirkan, dan pula dengan keadaan semacam ini. Orang-orang di acara tadi, Arini dan mamah Arinilah yang membuatku merasa seperti ini. Ternyata selama ini aku terlalu banyak mengeluh.
Sepulang dari UGM, kami mampir ke pasar Bring Harjo. Arini membelikanku beberapa potong baju muslimah untukku, dan daster batik untuk mamahnya. Aku sempat bingung saat ia belikan semua itu. Ia sempat berbisik padaku, “aku ingin seperti Arini..”. ow ! itu judul tulisan terakhir kmarin di buku kecilku. “Kau membacanya ? “ tanyaku dengan bahasa isyarat. Ia mengangguk dan tersenyum ^_^. ”maaf,kemarin aku masuk ke kamar mbak waktu mbak tidur. Bukunya nggak mbak tutup sih”,katanya..
-Evania-
-------------------------------------------------------------------------------------
“Wahhh… ini bagus banget mbak cerpennya.”,kata Arini. Kapan mau dikirim ?
“er…se..yyyyahh amuu..” (terserah kamu), sahutku. Aku senang membaca Cerpen pertamaku ini. Sudah berulang-ulang aku membacanya. bahkan saat ini, aku tengah membacanya bersama Arini, sambil menunggu lengkung menawan hadir di sore kami. kami tak seelok pelangi.. pelangilah yang mengelokkan hari-hari kami.
Teruntuk Arini QausQuzaa.., trimakasih atas inspirasinya. Trimakasih atas kepercayaannya. Karna evania, ia tak kan pernah bisa menyusun shaf-shaf kalimatnya tanpa inspirasi dari pelanginya, dan Tanpa kepercayaan dari seorang Arini.. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar