12 Juni 2013,
Teruntuk anakku diperantauan..
apa kabar anak emak?
cah bagus, pulanglah nak. Emak, Bapak sudah payah, tak kuat bekerja. Bapak sakitnya makin parah. Sudah udzur orangtuamu ini. Emak amat butuh kamu. Pulang nak.. bantu pekerjaan di desa. Sudahi kuliahmu demi emak bapak di kampung..
Emakmu, Siti Aminah
Pulang kuliah aku menerima surat dari emak. Hal yang jarang kuterima. Jarak kantor pos dari desaku cukup jauh. Dan lagi emak mungkin tak kuat mengayuh sepeda sampai kesana. Pasti emak menitipkan surat itu pada tetangga untuk mengirimkannya pada alamat yang pernah kuberi dulu. Awalnya aku sumringah. Namun itu hanya beberapa saat. Saat kubaca surat singkat itu ternyata isinya amat menyesakkan. Emak bilang, aku disuruh pulang. Bapakku sakit-sakitan dan sudah tak bisa lagi bekerja. Pulang, bukan berarti pulang beberapa hari saja. Aku didawuhinya untuk berhenti kuliah. Berhenti kuliah yang mana kuartikan, berhenti berjuang. Ah, apa iya ? apa harus ?
Didesaku yang kuliah hanya aku saja. Bisa dibilang, keluargaku cukup melek dibidang pendidikan. Tapi kenapa emak jadi berubah begini? Membiarkan anak semata wayangnya pulang sebelum berhasil. Aku bingung.
“Namaku mahasiswa. Mahanya para siswa. Akulah penguasa”
Kubaca lagi tulisan itu. Tulisan yang pertama kali kutulis sejak aku masuk kamar kos ini. Kamar berukuran 2 x 3, yang kata temanku cukup kecil. Padahal menurutku kamar ini lebih dari cukup. Cukup untuk seorang mahasiswa dari pelosok yang biaya kuliahnya mengiba pada tawaran beasiswa tidak mampu.
kembali lagi ke tulisan tadi. Tulisan yang kutorehkan di sesobek kertas tengahan buku tulis. Kutulis dengan pulpen standard yang saat itu kutemukan tergeletak di meja kamar, entah milik siapa. Mungkin milik penghuni sebelumnya yang tertinggal. Sobekan itu kemudian kutempel di dinding kamar. Sebagai ungkapan kebanggaanku atas sandangan baru. Sebuah predikat yang amat menggetarkan jiwa telah melekat pada diri anak desa ini. Mahasiswa.
Buncahan kegembiraan amat terasa ketika itu. Ketika menyadari aku telah menjadi seperti yang ada di televisi itu. Yang berkoar-koar di depan gedung DPR dan memperjuangkan rakyat, yang menggunakan ikat di kepalanya sembari dengan lantangnya berorasi di tengah jalan. Semangat terlihat jelas dalam lantangan mereka. Ya, walau katanya banyak orang menggerutu karenanya. Jalan jadi macet. ah, menurutku itu perkara sederhana. Hanya macet di jalan sebentar saja tak apa. yang penting Negara ini tak macet. Dan menurut bocah polos dari desa ini, para pendemo itu.. keren.
Itulah asal muasal betapa bangganya aku yang ketika itu telah resmi menjadi seorang mahasiswa. Kau baca ? ya, MAHASISWA. Televisi di tempat tinggalku, tepatnya milik tetanggaku itu telah membawaku berangan tinggi untuk menjadi mahasiswa. Sosok keren yang acapkali jua dipukuli karena tingkahnya yang dianggap kelewatan. Keren.
Aku yang tengah dimabuk kegembiraan lantas menyalurkan semangat menggebuku ke berbagai kegiatan. Bagiku kesibukan itu belum seberapa daripada kegiatanku di rumah dulu. Pulang sekolah membantu bapak di sawah, berpanas panasan, pulang dari sawah membantu emak menyiapkan dagangan untuk esoknya. Hingga larut, dan terkadang tak tidur karena masih harus mengejakan PR. Sedang di kampus, pagi aku kuliah dan sore berorganisasi. Kuliah ternyata tak memakan banyak tenaga seperti memacul di desa. Enaknya jadi kaum intelektual.. hanya duduk mendengarkan dosen dan sesekali bertanya. Tapi aku tak sesekali. Aku berkali-kali.. karena teman-temanku tak suka bertanya seperti aku, jadilah hanya aku yang terlihat rewel bertanya di kelas. Terkadang aku heran, kenapa teman-temanku tak rewel seperti aku ? aku beranggapan mereka itu mungkin lebih cerdas dari aku yang dibesarkan di desa. Mungkin pengetahuan mereka sudah lebih luas dariku. Ya, mungkin begitu. Aku maklum.
Tugas-tugas yang diberi juga kupikir tak terlalu menguras otak dibanding saat aku memikirkan solusi ketika gagal panen. Hanya saja biaya print yang dibutuhkan seringkali memberatkanku. Kenapa sih tak ditulis tangan saja ?. kenapa setiap tugas harus diketik dan diprint ? okelah kalau itu tugas makalah ilmiah yang cukup berbobot. Kalo hanya laporan biasa, atau hasil diskusi, atau meringkas, atau hal-hal lain yang sebenarnya bisa dan pantas ditulis tangan, kenapa tak ditulis saja ?.
Ketika siang menjelang sore berorganisasi, aku tak berpanas-panasan dan berpeluh seperti ketika di sawah. Aku bisa duduk santai di sekretariat organisasiku, rapat dengan snack kecil yang tersedia, bermain komputer milik organisasi, tertawa girang dengan teman-teman seperjuangan. Menyenangkan. Andai anak-anak desaku juga bisa merasakan ini. Di desaku ada tempat berkumpul. Pos ronda namanya. Namun disitu tiap malam hanya digunakan untuk judi atau bermain kartu gaple.
Kutatap sekali lagi tulisanku, “Namaku mahasiswa. Mahanya para siswa. Akulah penguasa”. Mak, tegakah emak melepas gelar itu ? aku bermimpi tiap malam untuk menyandangnya hingga lulus dan aku puas. Dan kini sayap mimpiku patah mak. Emak bapakku sendiri yang mematahkannya. Aku cinta emak, aku cinta bapak. Tapi, akupun cinta mimpi.
“ad.. Fuad..” kudengar suara teman sekosku yang kamarnya bersampingan denganku.
“kenapa cak ?” tanyaku tak bersemangat.
“nanti datang rapat nggak ?. aku ngantuk banget, tolong nanti ijinin” katanya
Aku tak langsung menyahut. Sebenarnya akupun sedang malas. Biasanya memang aku selalu semangat rapat. Tapi setelah tadi pagi menerima surat dari emak, gairah hidupku menurun. Aku malas makan, susah tidur, malas melakukan aktifitas. Betapa lemahnya aku.
“maaf cak aku juga ndak berangkat” sahutku beberapa menit kemudian. Tak ada jawaban. Sepertinya si kriting wicak sudah lelap dalam tidurnya.
Aku kembali dalam lamunanku. Menerawang jauh tentang masa depan bilamana aku tak lagi jadi mahasiswa. Bukan karna lulus, tapi karna putus. Mungkinkah rasanya seperti putus cinta ? . Padahal putus cinta saja aku tak tau rasanya.
Emak memintaku pulang minggu ini. Padahal minggu ini jadwal rapat di organisasiku cukup padat. Aku tak hanya mengikuti satu organisasi.
Saat aku masuk dulu, kukira organisasi di universitas itu hanya yang suka muncul di televisi itu. Yang suka berkoar juang di depan gedung DPR. Tapi ternyata, organisasi di universitas itu lebih banyak rupa. Ada yang berjuang lewat seni, lewat tulisan, lewat olahraga, lewat keagamaan, dan masih banyak lagi. Semua hebat, semua menarikku untuk mencobanya. Mencoba berjuang di berbagai bidang. Aku ingin belajar banyak di kota. Mumpung di kota. Akhirnya kuikuti tiga diantara sekian banyak yang ada. Dan ditambah aku mendaftarkan diri menjadi guru les anak-anak SD. Lengkaplah sudah kesibukanku.
Seminggu sebelum pulang kupergunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas serta pamit ke teman-teman kelas, kos dan organisasiku. Akupun menemui pembimbing akademikku, dan menyatakan permintaan emak. Tak ada yang istimewa selain aku semakin tak ingin meninggalkan semuanya.
Minggu pagi, setelah semua urusanku kupaksakan untuk selesai. Karena nyatanya banyak tugas yang terbengkalai dan banyak pula kupindah tangankan ke teman-temanku, yang sebenarnya akupun agak yakin mereka keberatan, namun tuntutan keadaan memaksa mereka untuk mau.
Padahal baru kuinjakkan kakiku di Kota Surakarta 2 tahun lalu. Belum sampai Cina kutuntut ilmu, namun langkahku sudah ditarik lagi.
Kakiku serasa kelu saat menaiki bis ekonomi dengan tujuan desaku. Sebuah desa terpencil di Jogjakarta. Beruntung kudapatkan tempat duduk, walau itupun paling belakang. Bisku melaju kencang dengan tubuhku yang terguncang. Disampingku duduk wanita muda dengan anaknya yang terus menangis walau tak ada yang merebut botol air susunya. Seperti sebuah ungkapan protes karena mamanya memilih kendaraan sumuk dan pengap untuknya. Dalam hatiku, akupun ingin menangis seperti dia. Melampiaskan seluruh kecewaku. Andai aku masih pantas menangis keras sepertinya di pelukan mamanya, akan kulakukan itu dipelukan emakku. Melampiaskan protes karena disuruh pulang.
Kurang lebih tiga jam kususuri jalan dengan penuh kegalauan. Anak kecil sudah tertidur pulas dipangkuan mamanya saat aku hendak turun di persimpangan jalan menuju rumah kecilku. Ku langkahkan kakiku menuruni bis. Kususuri jalan rusak menuju ke rumah. Masih seperti dulu.
“hei bang Fuad ! “.suara yang amat kekenal.
Saat kutengok sebelah kiriku, berdiri disana seseorang dengan rambut gondrong mirip bang Haji Roma Irama. Namun perawakannya nampak menyedihkan. Tulang belulang, kurus sekali. Kulitnya hitam terbakar matahari. Hampir tak kukenali kalau saja tak kulihat tahi lalat di dagunya. Juga cengiran yang tampak tak asing lagi. Sabil, teman mengajiku di surau dulu.
Satu tahun lalu terakhir kutinggalkan desaku, Sabil masih terlihat bocah. Dan kulihat kini guratan-guratan kelelahan diwajahnya. Tampaknya sekarang ia pekerja keras.
“eh kau !” kurangkul pundaknya yang kurus kering. Tak tega rasanya.
“apa kabarnya kau?. Tampak ganteng sekali” sahutnya renyah
Aku nyengir kuda. “ah kau ini bil. Baru sadar ? aku ganteng dari dulu. Kenapa baru sekarang kamu membuka kedua bola matamu yang sipit mlipit itu?” , dan tawa renyah keluar dari mulut kami berdua.
Kami berjalan menyusuri sawah. Dan membuat janji untuk bermain bola sore hari di lapangan depan balai desa. Lapangan sejak kami kecil. Di ujung gang menuju rumahku, Sabil pamit hendak menuju rumah pak mantri untuk mengantarkan surat.
Sesampainya dirumah, kucium tangan bapak dan emak dengan takzim. Walau tersimpan kecewa yang bertubi-tubi, namun melihat mereka tersenyum bungah dengan kedatanganku akupun luluh. Kangen yang teramat sangat. Kukecup kening emak. Kerutan dikening dan pipinya makin nampak. Kupeluk tubuh bapak. Sudah semakin ringkih kurasa. Tak terasa air mataku jatuh. Dosa sekali aku sia-siakan kedua malaikatku dirumah. Aku baksos kesana kemari sesuai program di organisasiku, aku ikut santuni panti jomppo, panti asuhan, dan yayasan cacat. Namun, kulupakan kedua orangtuaku dirumah dengan ala kadarnya.
“Alhamdulillah ad, kowe gelem mulih. Tak kiro kowe wis betah banget nang kono” sahut bapak. Dan semenit kemudian, kudengar suara serentetan batuknya . aku tak tega.
Setelah berbincang agak lama dengan bapak dan emak, aku pamit tidur siang. Sorenya, kutepati janjiku pada Sabil.
Gol… !
Lagi-lagi gawangku kebobolan. Timku sebenarnya bagus dalam bermain. Tapi aku kipernya, KO. Walhasil terbobol dua kali. Aku merasa amat bersalah. Baru pertama kali ikut, langsung mengecewakan. Padahal dulu aku jagonya kipper.
“hei bung Fuad ! kenapa kau ini?” sahut Sabil usai pertandingan.
“maaf mas sipit. Kekuatan saya lagi dipinjem” jawabku sekenanya.
“lagi ada masalah ya? Critalah sama teman sepermainanmu ini. Kita berteman dari ingusan. Jangan ada dusta antara kita” lanjutnya nyengir. Ingin rasanya kusaingi daya tarik cengiran mautnya.
“ayok kita ke hik. Biar kutraktir dan kuceritakan” kataku kemudian.
“siap abang ganteng! Aku nasi kucingnya 3 yah” sambutnya sumringah.
Kamipun berjalan beriringan seperti saat bocah dulu. Akrab.
“oh… jadi seperti itu. Kamu merasa berhenti berjuang?”
“iya bil. Aku sayang emak bapak. Tapi akupun sayang predikat mahasiswaku” kataku lesu.
“apa pentingnya sebuah predikat?”, kata Sabil. Lanjutnya, “kamu ini tak berhenti berjuang. Disini kamu lebih mulia. Berbakti kepada orangtua itu pahalanya besar. Ingat tidak pelajaran ngaji kita dulu ?”
Aku diam. Memang benar berbakti pada orangtua itu pahalanya besar. Tapi Sabil tak tau sih serunya jadi mahasiswa.
“mungkin kamu berpikir, aku belum pernah jadi mahasiswa jadi tak merasakan hal sepertimu” sahut sabil seakan bisa membaca pikiranku.
“aku memang tak pernah menjadi apa itu mahasiswa. Tapi dari ceritamu, aku simpulkan mahasiswa itu pencetus perubahan. Aku jadi ingat kata Bung Karno, “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kurubah dunia”. Kupikir mahasiswa adalah pemuda. Aku juga pemuda, kamu juga pemuda. Mahasiswa itu berjiwa pemuda. Bukan predikat yang penting, namun semangat disinimu”, Sabil menunjuk dadaku.
Aku merinding dibuatnya. Sabil yang kukira ndeso, ternyata bisa menggetarkan jiwaku.
“Fuad, kamu bisa salurkan semangat kemahasiswaanmu didesa ini. Bangun desa ini jadi lebih maju. Ajarkan pada kami, para pemuda tentang intelektual. Buat karang taruna yang telah mati suri bisa hidup lagi. Kau bisa. Kau mampu” sahut Sabil menggebu.
Aku terharu. Kuselipkan senyum hangat untuknya. Sahabat kecilku, Sabil.
“Namaku mahasiswa. Mahanya para siswa. Akulah PEMUDA”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar