Senin, 02 Februari 2015

SEKILAS CERITA TENTANG PPL

Setelah melewati masa KKN, adalah wajar bagi kami mahasiswa FKIP untuk mengikuti PPL (Praktik Pengalaman Lapangan). Kegiatan PPL mengharuskan kami untuk terjun langsung ke lapangan, merasakan kenikmatan menjadi guru. Kenapa saya katakan kenikmatan?, Karena memang benar adanya. setelah melewati masa PPL dan setelah sekarang benar-benar menjadi guru di sebuah sekolah luar biasa, saya rasakan pekerjaan guru adalah pekerjaan yang nikmat!. Bagaimana tidak?. Setiap hari santapan kami adalah tawa renyah anak-anak. Tak peduli bagaimana kondisinya, anak-anak selalu punya tawa renyah yang jauh lebih nikmat dibandingkan dengan makanan mewah manapun.

PPL saya jalani di SLB A YKAB Surakarta. Sebuah sekolah yang akan selalu saya kenang, karena keberadaannya memberikan pelajaran-pelajaran hidup untuk saya nikmati di hari kemarin, sekarang dan saya harap di hari kemudian.

SLB ini menerima siswa dengan hambatan penglihatan dan intelektual. Dalam dunia luar biasa, kita biasa menyebutnya dengan tunanetra dan tunagrahita. Kedua hambatan ini memiliki karakteristik serta kebutuhannya masing-masing. Namun lihatlah foto disamping, semua anak bisa ceria dalam perbedaan. 

Menjadi guru memang nikmat. Apalagi guru anak-anak luar biasa ini. Dalam keterbatasan, mereka tetap semangat belajar, mereka berani punya karya, mereka masih punya tawa renyah, dan yang terpenting, mereka mengenal arti kepedulian sesama teman. Anak-anak ini mengajarkan pada kami calon guru tentang hal-hal yang tak kami peroleh di bangku kuliah. 
 
 Awal saya PPL, ada saja hal-hal yang membuat saya menitikkan air mata. Naluri siapa yang tak tersentuh melihat tawa renyah gadis kecil tunanetra yang bahkan mungkin ia tak pernah melihat tawanya sendiri di kaca. Ia tak pernah mengerti begitu cantiknya ia saat tersenyum.

atau siapa yang tak terharu melihat dua orang orang tunanetra begitu menghargai arti persahabatan. Padahal, belum tentu keduanya pernah melihat wajah satu sama lain secara jelas. Mereka mengajarkan apa arti kepedulian yang sebenarnya. Kepedulian tanpa rupa.

Anak-anak tunanetra belajar dengan indra-indranya yang tersisa. Entah dengan perabaan, penciuman, ataupun pendengaran. Mungkin mata mereka memang tak bisa melihat. Namun bisa jadi jiwa mereka lebih peka dari kita yang mampu melihat.

Foto diatas adalah foto Christian dan Yahya. Keduanya anak yang aktif. Seakan tak pernah takut dengan halangan dan rintangan di depan. Mereka tak ragu mengayun ayunan dengan kencang, atau berlari kejar-kejaran dengan bebas disekolah. Mereka anak-anak cerdas yang selalu bertanya apa saja yang ingin mereka ketahui. Ada hal lucu ketika salah satu teman saya menanyakan cita-cita Christian. Christian ingin menjadi tentara. Tentara tunanetra dengan senjata tongkat katanya :'D

Terlalu banyak hal yang saya dan teman-teman pelajari di sekolah ini. Ketidaklihaian saya dalam menulis lah yang membuat semuanya mungkin terlihat tak begitu berkesan. Namun percayalah, menjadi guru bukan sesuatu yang sepele. Menjadi guru adalah bagaimana kita menelaah keseharian anak, menjadi guru adalah bagaimana kita bisa mengajarkan apa saja sesuai kebutuhan mereka, menjadi guru adalah bagaimana kita mengerti bahwa anak-anak adalah amanah yang tawa renyahnya harus senantiasa kita jaga.

Salam rindu dari kami,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar