Demi perasaan ini, ku terdiam menahan pilu.
Menahan butiran air mata yang mendesak ingin bebas.
Ku tahan, ku kekang, dan ku bungkam.
maka, semakin terasa keperihannya.
Menusuk, dan membuatku tak berdaya.
Tanpamu, ku sempat terkulai lesu dalam hariku.
Menahan butiran air mata yang mendesak ingin bebas.
Ku tahan, ku kekang, dan ku bungkam.
maka, semakin terasa keperihannya.
Menusuk, dan membuatku tak berdaya.
Tanpamu, ku sempat terkulai lesu dalam hariku.
Saat itu aku berada di ambang gerbang sekolah, memperhatikan satu persatu wajah teman-temanku yang melintas. Disitu, banyak sekali raut yang kutangkap. Ada raut gembira, sedih, kecewa, bahkan perpaduan dari ketiganya. Namun, satu hal yang membuatku amat tersiksa, bahkan keluh tak pernah terlewatkan saat melihatnya. Ada dendam keirian mendalam yang merayap di benak, yang lamat-lamat menyusup dalam kalut jiwaku.
Ya Allah… aku iri pada mereka…. Masing-masing dari mereka bersama orang-orang yang mereka sayangi.
Andi, ia terlihat melenggang ringan bersama papahnya. Masih kuingat, ia sempat tersenyum sejenak ke arahku, berusaha menyapa. Kemudian, pandangannya beralih lagi ke papahnya.
Ika, walau raut sedih karena nilainya yang mungkin tak memuaskan terhias jelas di wajahnya, namun ia masih bisa berjalan beriringan bersama uminya. Ku dengar sayup-sayup suara uminya yang berusaha menghibur.
Si gendut Dito, begitu keluar dari gerbang sekolah, ia bergegas menggandeng adiknya menuju warung bakso di seberang sekolah. Di belakangnya, tampak seorang ibu berjalan pelan, yang ku yakin, itu ibunya.
Mereka beruntung. Sedang aku????. Di hari penerimaan raport, aku mengambil raportku sendiri. Ayahku sudah tiga bulan terbaring sakit di rumah. Sempat beberapa kali ayah dirawat di Rumah Sakit, namun selalu saja beliau memohon untuk pulang. ibupun sibuk merawat ayah, dan juga mengurus dagangannya di rumah, yang merupakan salah satu sarana mengais rezeki saat itu, setelah ayah jatuh sakit. Ibu hanya sempat menelfon Bu Khansa. Memberitahukan perihal ketidak hadirannya.
Sudah seminggu sejak penerimaan raportku, ayah masih saja terbaring di tempat tidurnya. Entah sakit apa. Aku tak mengerti. Kata ibu,namanya komplikasi. Agak kelu juga lisanku mengucapkannya, Saat itu aku tak paham, penyakit apakah itu. Kuperhatikan tubuhnya yang semakin kurus. Wajahnyapun semakin tirus. Ia terlihat jauh lebih tua dari usianya. Bicaranyapun terkadang sudah susah kuartikan. Kata ibu, jika ayah seperti itu, tandanya ayah sedang “ngelantur”. Aku hanya disuruh diam menanggapinya. Bahkan akhir-akhir itu, sifatnya menjelma layaknya anak kecil. Menangis tak mau minum obat, meronta saat akan dimandikan ibu, dan terkadang menyenggol piring dari tangan ibu, yang menjadikannya pecah, saat ayah sudah tak ingin makan.
“Ibu, liburan kali ini, Nasywa nggak kemana-mana?." Tanyaku saat itu.
“Liburan sama ayah di rumah aja ya sayang…”. Jawab ibu sambil tersenyum.
Hari-hari liburanku tak sebahagia anak-anak lain. Liburan kali itu, kuhabiskan waktu di rumah. Tidur, menonton tv, atau terkadang juga kugunakan untuk berlama-lama di kamar ayah. Ada rasa senang yang menyelinap masuk, saat tangan ini mengipaskan kipas pada tubuhnya yang kepanasan. Ayah memang sering merasa kepanasan berada di kamar. Mungkin ia sumpek, karena setiap hari hanya bisa menghabiskan waktu disitu. Terkadang, ia memintaku untuk memijatnya.
“Nasywa, pijitin ayah donk.. ayah mau dipijit Nasywa, sambil disuapin ibumu.” Rengeknya.
Kata ibu, ayah sering mengulang-ulang menceritakan tentang pijitanku. Katanya, ia amat suka akan pijitanku. Padahal saat itu, tanganku masih amat kecil. Tangan anak usia 11 tahun. Namun saat itu aku percaya pada pujian ayah. Aku yakin, bahwa aku pandai memijat. Sekarang aku tahu, pujian itu hanya perasaan sugesti dari ayah, yang senang akan pijitan dengan resep sayang dari anaknya. Karena sekarang aku yakin, tangan kecilku saat itu, tak akan mampu menghilangkan pega-pegalnya.
Sampai liburan berakhirpun, ayah tak kunjung sembuh. Aku sempat bingung saat ibu guru menyuruhku maju kedepan kelas untuk menceritakan tentang liburanku. Teman-temanku yang lain punya cerita seru-seru. Ghozali menceritakan pengalamannya pergi ke kebun binatang. Sunu lebih seru lagi, ia menceritakan pengalamannya saat seminggu di jogja. Sedang aku????. Aku tak tau harus bercerita apa. Akhirnya ku ceritakan tentang liburanku bersama ayah dan ibu. Tentang ayah yang sakit, tentang pujian-pujian ayah akan pijatanku, dan tentang ibu yang selalu sabar merawat ayah.
“Bagus sekali ceritamu.” Puji Bu Khansa’ saat itu.
Tepuk tanganpun terdengar saat aku mengakhiri ceritaku dengan salam. Semenjak itu, aku terkenal dengan julukan, “Tukang Pijit”. Sebuah julukan yang akan membuatku tersenyum bila mengingatnya.
____________________________________________________________________
“Ya Allah… Nasywa kangen ayah. Nasywa pengen jalan-jalan sama ayah lagi. Nasywa pengen ke pantai bareng ayah sama ibu. Berilah kesembuhan pada ayah Ya Allah. Amiin…” ku akhiri doaku. Namun, saat itu kurasa ada yang kurang. Kembali ku menengadahkan tangan, “Robbighfirliii, wa liwaalidayya,, warhamhumaa.. kamaa.. Robbayaanii soghiiro.. Amin. .” Ku baca doa untuk kedua orangtua, yang pernah diajarkan oleh ayah, saat dulu masih sehat.
Selesai sholat, ku langkahkan kaki ke kamar ayah. Saat itu, Ayah sedang tidur. Ada kelelahan yang tergambar di wajahnya. Ibu sedang sibuk dengan dagangan kelontongnya di kios. Mbak Nurul yang biasa menjaga kios, ketika itu tengah izin pulang selama dua hari. Iseng, kucium kening ayah. Tak kusangka, ayah membuka matanya. Ditatapnya aku.
“Ini Nasywa apa ibu?” tanyanya. Akh, pasti ayah ngelantur lagi! Pikirku.
“Ya Nasywa donk yah…. Masa’ ibu, kecil?” jawabku .
Ayah tersenyum. Manis…..sekali.Aku suka senyum ayah.
“Abisnya mirip sih.. kamu itu mirip banget sama ibumu. Ayah juga yakin, pribadimu juga akan sama dengan ibumu. Bahkan, bisa jadi lebih baik. Ibumu itu baik banget. Mau ngerawat ayah, apapun kondisi ayah. Ibumu itu sabar, nggak pernah ngeluh dihadapan ayah. Bahkan waktu ayah sakit kaya’ gini.” Ayah menghentikan perkataannya sejenak.
“Kamu tau nak, wanita itu diciptakan dengan penuh keistimewaan. Wanita itu perhiasan yang paling berharga di dunia dan di akhirat. Di dunia ia menjadi perhiasan paling berharga bagi keluarganya, suami dan anaknya. Seperti ibu. Ibu berharga buat kamu kan?” aku hanya mengangguk. Ayah ternyata tak sedang ngelantur.
“Seperti juga Nasywa.” Sambungnya lagi.
“Nasywa masih inget dongeng Fathimah?.”
Aku terdiam. Kuingat-ingat kembali.
“Ya, Nasywa inget.” Sahutku.
“Kamu masih inget julukannya?”
Aku mengerutkan kening. Waduh… siapa ya? Bathinku. Hm…
“Aku inget! Ummmmuuu aabiihaa”. Jawabku mantap.
“Ya, pinter!. Ummu Abiha.. artinya, ibu dari ayahnya. Karena perannya begitu agung dalam kehidupan ayahanda tercintanya, Nabi Muhammad Saw. Nasywa juga mirip seperti Fathimah. Nasywa punya peran begitu agung buat ayah. Nasywa selalu nemenin ayah, waktu ayah kesepian di kamar. Nasywa selalu mijitin ayah kalo ayah pegel-pegel. Terus juga ngipasin ayah kalo ayah kepanasan.”
Aku tersenyum mendengarnya. Ya! Aku senang dipuji mirip Sayyidah Fatimah. Fatimah itu, kata ayah cantik. Ia sering disebut bidadari berwujud manusia. Tentu ia lebih cantik dari boneka-boneka Barbieku yang dulu pernah kupuji-puj kecantikannya.
“Kapan ayah sembuh?” tanyaku tiba-tiba.
“Sesuai kehendak Allah, sayang. Tak ada yang tau rencana Allah selanjutnya. Allahlah yang Maha Berkehendak.”
“Nasywa udah pengen jalan-jalan bareng ayah lagi. Beli majalah Aku Anak Sholeh lagi di kiosnya Pak Usman. Terus pergi ke pameran buku. Dan yang paling Nasywa penginin,pergi ke pantai bareng ayah ma ibu.Ayah janji ya, kalo ayah udah sembuh, ajak Nasywa jalan-jalan lagi.”
“Pasti donk… doain ayah ya sayang. Doa anak yang sholihah, seperti Nasywa, insya Allah di kabulkan Allah.”
Aku tersenyum. Ada ketenangan yang menyapa saat itu.
“Nanti kalo Nasywa udah besar, Nasywa juga harus jadi wanita baik kaya’ sekarang ya.
Buatlah Bidadari Iri Padamu, nak…….” .
“Iya ayahku sayang… “
Hari itu aku bahagia. Bisa bercengkrama lama dengan ayah. Semenjak ayah sakit, aku tak pernah bercengkrama seperti itu. Karena biasanya, jika berlama-lama diajak mengobrol, ayah akan dengan sendirinya tertidur. Meninggalkan lawan bicaranya. Atau jika tidak, ia akan ngelantur ditengah pembicaraan. Namun hari itu lain. Ada raut segar disana. Ia terlihat lebih sehat dari biasanya. Makannyapun lahap. Senyumnya juga terlihat tampak menawan. Ingin sekali rasanya kulukis terus dalam ingatanku.
_______________________________________________________________
Kejadian itu tlah berlalu tiga belas tahun silam. Dua hari setelah hariku bercengkrama puas dengannya, ia pergi. Malaikat Izroil mengendap-endap layaknya maling, dan mengambil roh ayahku tanpa sepengetahuanku, saat malam tiba. Aku tak kuasa menahan tangis ketika kudapati ayahku sudah tak bernyawa. Tangisku saat itu pecah. Tak bisa kubendung lagi. Sempat terlontar paertanyaan pada ibuku di sela tangisku,
“Nasywa bukan anak sholihah ya bu??”
“Lho, emang kenapa sayang?”
“Kata ayah, doa anak sholihah itu di dengar Allah. Nasywa selalu doa biar ayah sembuh, tapi kok ayah malah meninggal?”
“Terkadang kehendak Allah memang tak dapat kita mengerti.” Hanya itu jawaban ibu.
Setelah tiga belas tahun lamanya ku hidup tanpa lelaki yang amat kusayangi. kini,kuberada disamping seorang lelaki baru yang akan menggantikan ayah untuk menampung rasa sayangku. Suamiku. Lelaki yang kini amat kusayang. Pagi tadi, baru saja kulangsungkan akad nikah dengannya. Menangis ku melalui prosesi itu. Karena ayah tak menjadi waliku.
Aku berjanji ayah, aku akan menjadi wanita seperti yang inginkan. Menjadi wanita baik yang akan merawat suaminya dengan sabar. Apapun kondisinya. Tak akan kunyanyikan satu keluhpun walau ia tengah sakit. Dan akan kudidik anakku seperti engkau telah mendidikku. Aku mau menjadi perhiasan terbaik bagi mereka.
Dan ibu, akan kujaga ibu dalam rengkuhanku. Sebagaimana ia telah menjagamu dan menjagaku dengan setia, tanpa keluh. Aku masih mengingat ceritamu tentang seorang lelaki yang datang pada Nabi, lalu bertanya :
“Kepada siapakah aku harus berbuat baik lebih dulu ya Rasulullah?”
“Kepada ibumu.” Jawab Nabi.
“Kemudian kepada siapa lagi?”
“Kepada ibumu.”
“Kemudian kepada siapa lagi?”
“Kepada ibumu.”
“Kemudian kepada siapa lagi?”
“Kepada bapakmu.”
Katamu, itulah cara Nabi mengangkat drajat kaum wanita. Ketika ku Tanya padamu,
“Ayah tak iri dengan jawaban Rasulullah?”
Jawabmu, “tidak sayangku..”
“sosok itu” . sosok yang amat ku cinta… sosok yang amat ku sayang… sosok yang amat kubanggakan.. ku banggakan di depan teman-temanku. Kubanggakan di depan kenelan-kenalan baruku. Kubanggakan di depan semuanya..
Masih terekam jelas dalam ingatanku, kenangan bersamanya. Saat aku dibawanya berjalan-jalan mencari majalah islami untuk anak seusiaku.
Masih terekam jelas dalam memoryku,, suaranya yang membetulkan hafalan doaku terlantun setiap sholat maghrib kami tlah usai.Ada kesabaran luar biasa yang tersirat dalam nada-nadanya. Masih terekam jelas kenangan di pantai bersamanya.
Bukan aku tak ikhlas…. Bukan aku tak suka dg keputusan Sang Khalik… tapi,, aku hanya manusia yang sedang merasakan rindu,,, rindu pada sosok yang masih ku perlu. Rindu pada sosok yang kemarin masih bisa membuatku tersenyum.. rindu pada sosok yang sudah kususun agenda bersamanya setelah beliau sembuh dari sakitnya.. Agenda yang belum sempat terlaksana. Air mata memang terkadang perlu untuk meluapkan rindu, menghempas kekesalan, ataupun menyongsong kebahagiaan. Butir-butir bening itu, tak hanya milik si cengeng.
_________________________________________________________________
“Kenapa sayang?” suara lembut lelakiku yang terbangun karena tangis istrinya.
Segera ku tutup buku harianku. Dan beringsut ke pelukannya. Mirip seperti aku menangis dipelukan ayah, sesaat setelah ku terjatuh di pantai, atau saat boneka barbieku rusak. Ada kehangatan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar