Selasa, 10 Agustus 2010

cerpen: KAMI YANG TAK SEELOK PELANGI


‘Huuauuaaa…. Mamah, huhuu…”. Terdengar suara tangis Arini, setelah sebelumnya telingaku menangkap gelegar gagah petir yang tengah asik dalam pentasnya. Itulah yang mengajak Arini menangis. Arini yang tengah tertidur, terbangun karenanya. Langkah kaki mamah Arini terdengar tergopoh-gopoh menyongsong anaknya. Ditenangkannya tangis anak semata wayangnya itu. Sekitar sepuluh menit sudah Arini berada dalam buai kalimat-kalimat menenangkan mamahnya. Sepertinya usaha itu cukup berhasil. Hanya isak sesenggukan Arini yang tersisa. Sentuhan kasih sayang seorang ibu memanglah luar biasa. Walau hanya meluangkan beberapa menit dalam sibuknya, ia mampu menyihir semua. Dibuatnya anaknya bisa tersenyum tatkala awalnya ia menangis. Dibuatnya anaknya bisa tenang, tatkala awalnya ia merasa gundah. Dibuatnya anaknya merasa hebat, tatkala awalnya ia merasa dirinya tak berguna.

Arini, seorang bocah berusia 4 tahun. Matanya bulat berbinar, Bulu matanya lentik, Bibirnya mungil , pipinya yang berlesung menambahnya semakin terlihat menggemaskan. Aku suka melihat tingkahnya saat ia bercerita, menyanyi, atau sekedar bergurau denganku. Polos, tak dibuat-buat. Lincah, tanpa basa-basi.